Sabtu, 28 Mei 2011

Mencari Solusi ‘Cantik” Ujian Nasional



====  Perdebatan ujian nasional (UN) tentu saja bukan hanya terjadi tahun ini, sejak diluncurkan sekitar 2002 sudah menjadi pro-kontra ‘angin lalu’. Dikatakan angin lalu, karena memang pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (dulu Departemen Nasional) tetap saja melaksanakan UN hingga saat ini, dan tentu menjadi pemutlak bagi siswa SMP/SMA untuk dinyatakan lulus sekolah. UN memang dibutuhkan untuk menjadi parameter keberhasilan pendidikan, namun solusi ‘cantik’ itulah yang dibutuhkan agar siswa tidak dirugikan dengan keberadaan UN itu sendiri.
Penulis pernah mewancarai Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh yang saat ini begitu ngotot ingin tetap melaksanakan UN, meski Mahkamah Agung (MA) telah memenangkan kasasi para penggugat UN. Kenapa UN tetap dilaksanakan, padahal para siswa SMP dan SMA terlihat begitu stress menghadapi UN? “Memang harus dibikin stress, kalau tidak begitu hasilnya tidak maksimal,” kata Mendiknas. Kenapa begitu? ”Lah iya, jika ingin mengetahui ketahanan karet, kita harus menariknya secara maksimal. Sama halnya, jika ingin mengetahui kemampuan siswa, kita harus membuatnya belajar maksimal. Meski mungkin akan membuat stress,” jawabnya lagi.
Jawaban yang cukup filosofis meski terkesan dilematis, dan tentu tak cukup bertanya sampai di situ. Bagaimana dengan siswa yang tidak lulus, dia semakin stress dan bahkan ada yang bunuh diri? ”Lah yang bunuh diri berapa sih? Jangan sampai karena segelintir yang bunuh diri, terus UN dibatalkan, itu tidak fear,” ujar mendiknas dengan nada sinis. Berarti bapak menyepelekan siswa yang bunuh diri dong? ”Oh tidak, ini belajar dari tahun lalu (2009), yang lulus UN sekitar 95 persen, tidak lulus cuma sekitar 4 persen. Jangan karena yang sedikit itu, cita-cita mencerdaskan Bangsa gagal,” jawabnya.
Sebagai alumni dari sebuah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Untirta tentu pertanyaan pun penulis lanjutkan. Sekarang itu, pemerintah seakan lepas tangan kepada siswa yang tidak lulus UN pak, mereka (siswa yang tidak lulus) banyak yang prustasi tidak ingin melanjutkan sekolah? ”Karena itu kita sediakan UN susulan, dan tenggat waktu UN utama ke UN susulan itu 1 bulan. Jadi siswa bisa belajar memperbaiki nilai UN yang tidak lulus selama satu bulan menuju UN susulan,” ujar Mendiknas.
Tapi pak, kalau ternyata di UN susulan siswa tidak lulus juga, dan ternyata bukan karena faktor ketidakcerdasaan? ”Kita juga kan sediakan paket B dan C. Kalau UN utama tidak lulus, UN susulan tidak lulus, kejar paket tidak lulus juga, itu namanya takdir,” tegasnya. Mendengar jawaban ini, penulis berhenti bertanya, karena ternyata UN sudah menyangkut kata takdir, Wallahu’alam Bishawab.
Terlepas perbincangan di atas, tentu kita semua memang ingin melihat Bangsa ini cerdas, bermartabat di mata negara lain. Jika pemerintah menilai UN menjadi salah satu cara membuat Bangsa ini cerdas, tentu harusnya mencari solusi cerdas. Tidak menyepelekan stressnya siswa, dan tentu jangan ada lagi siswa yang tidak lulus UN, kemudian bunuh diri. Jangan ada lagi!. Karena itu, harus ada solusi ’cantik’ untuk ini semua.
Seperti diketahui, sejumlah elemen masyarakat telah menggungat pemerintah terkait pelaksanaan UN di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan diperkuat kembali oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusannya, dimenangkan para penggugat. Kemudian, pemerintah melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), putusannya tetap memperkuat putusan 2 pengadilan negeri tersebut. Kelemahan putusan hukum tersebut, memang tidak menyatakan 100 persen agar pemerintah menghentikan UN, hanya agar pemerintah melaksanakan pemenuhan berbagai kewajiban sebelum UN dilaksanakan. Keputusan hukum membingungkan memang!
Meski gugatan tersebut sudah sampai pada tingkat kasasi tertinggi MA, tentu saja tidak menjadikan pemerintah melaksanakan keputusan hukum tersebut. Menurut penulis, hal ini mengajarkan Bangsa kita untuk bisa melanggar hukum, dan pelanggaran hukum ini memang terkesan biasa di negara kita. Bahkan DPR juga melakukan itu, dengan tidak tegas terhadap anggota DPR yang terindikasi melakukan tidak pidana korupsi, tapi perdebatan ini tak perlu diperbincangkan. Solusi cantik yang dikedepankan untuk pelaksanaan UN.
DPR memang juga ngotot agar Mendiknas mengevaluasi bahkan meminta UN dihentikan. Namun apa daya, DPR dikuasasi partai politik pemerintah yang bernaung dalam bingkai koalisi, dan sepertinya UN memang akan dilanjutkan meski telah ada ketetapan hukum agar UN perlu ditinjau ulang. Kemudian, DPR hendak berkonsultasi ke MA yang telah mengabulkan kasasi para penggugat UN. Tentu ini langkah nihil dan seakan mengisyaratkan anggota DPR tersebut tak tahu makna putusan kasasi MA yang mempunyai keputusan hukum inkrah tertinggi. Kemudian, MA menyatakan sah-sah saja pemerintah melaksanakan UN. Ironis!
Alasan agar mempunyai solusi cantik dan UN dievaluasi tentu banyak hal, dengan masih lemahnya UN itu sendiri. Pertama, telah ditegaskan melalui putusan hukum bahwa UN bahwa pemerintah harus meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasaran sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan UN lebih lanjut. Sudahkah hal ini dilakukan? Tentu dengan tegas, hal ini belum dilakukan.
Kedua, seorang siswa memang harus memenuhi 4 (empat) kriteria kelulusan, sebelum dinyatakan lulus sekolah. Empat kriteria tersebut yakni, lulus ujian sekolah, mempunyai akhlak yang baik di sekolah, mengikuti proses pembelajaran selama 3 tahun, dan lulus UN.
Tapi, kriteria satu dengan yang lainnya saling ’membunuh’. Jika satu kriteria saja tidak lulus (tidak terpenuhi), siswa dinyatakan tidak lulus sekolah. Kriteria paling mematikan adalah harus lulus UN dengan beberapa mata pelajaran harus memenuhi standar kelulusan. Hal ini disinyalir yang paling memberatkan siswa. Harusnya, empat kriteria tersebut harus memiliki rata-rata kumulatif pertimbangan untuk menyatakan siswa lulus sekolah, tapi ini tidak. Lulus 3 (tiga) kriteris, tapi 1 (satu) kriteria tidak lulus, siswa dinyatakan tidak lulus sekolah.
Ketiga, kasus siswa bunuh diri akibat malu tidak lulus UN bukanlah hal yang biasa, UN telah mengakibatkan hilangnya nyawa. Ini kasus pelanggaran HAM berat. Pemerintah harusnya melakukan upaya positif untuk mencegah ini, bukan hanya menugasan sekolah untuk melakukan bimbingan konseling, tapi menyiapkan graind design mencegah (bunuh diri) itu setelah siswa dinyatakan tidak lulus sekolah. Ini (solusi) tidak ada.!
Keempat, UN menjadi ajang jual beli nilai. Kebocoran soal UN menjadi hal lumrah, bagi si kaya silahkan beli soal UN. Bagi si miskin, silahkan belajar saja, lulus tidak lulus terserah! Ini (jual beli soal) terjadi, dan setiap tahu menjadi masalah ‘angin lalu’. Selain itu, UN menjadi pertaruhan reputasi sekolah, kepala dinas pendidikan, bupati/walikota, dan gubernur. Jadi tidak aneh, guru menjadi sosok yang paling ditekan agar bisa menjadikan siswa lulus UN. Tidak ada policy (aturan mengikat) tentang ini semua.
Kelima, MA telah menyatakan agar pemerintah meningkatkan berbagai kualitas pendidikan sebelum melaksanakan UN, diantaranya kualitas guru dan sekolah. ”Kualitas guru sudah dilaksanakan melalui sertifikasi guru,” kata Mendiknas ketika ditanya penulis dikesempatan lain. Tapi sertifikasi hanya untuk mengejar kesejahteraan, guru (maaf) hanya perbanyak sertifikat-sertifikat seminar/pelatihan. Kadang (maaf) sertifikasi juga jadi ajang ’kongkalingkong’ pejabat di dinas pendidikan.
Untuk mencari solusi ’cantik’ UN, tentu saja banyak doktor dan profesor yang bisa mengambil langkah alternatif. Penulis hanya bergelar sarjana, dan tak banyak cukup teori untuk menunjang pencarian solusi ’cantik’ itu. Solusi ’cantik’ tersebut, sesungguhnya juga bisa dilahirkan oleh para guru dan kepala sekolah, jika saja mereka bukannya sebagai pelaksana operasional pendidikan. Tapi juga harusnya menjadi pembuat kebijakan proses dan evaluasi pendidikan, dan itu dijamin undang-undang.
Terlepas dari masalah di atas, Bangsa ini memang berharap agar generasinya berkualitas, dan jika UN menjadi salah satu cara mencapai itu semua, harusnya tak ada yang dirugikan dalam pelaksanaan UN. Semoga juga, pada pelaksanaan UN tahun ini, tidak ada lagi masalah kebocoran soal, jual beli nilai. Bahkan, jangan ada lagi siswa stress, kemudian bunuh diri karena tidak lulus sekolah, semoga tak terjadi!. penulis yakin pendidikan akan berhasil jika konsep Ki Hajar Dewantara bisa diaplikasikan dengan benar. Tut Wuri Handayani, Ing Karso Sing Tulado, Ing Madya Mangun Karsa. Wallahualam Bisahawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar